Sabtu, 20 November 2010

Kopi Tubruk dan Padang Bulan

Membaca buku dwilogi: "Padang Bulan" dan "Cinta di Dalam Gelas" karya Andrea Hirata membuatku meneteskan air mata pada lembar-lembar pertama bacaanku. Cerita dimulai tentang kesedihan Syalimah yang ditinggal mati suaminya.. aku kutib beberapa baris kalimat yang menggambarkan suasana kesedihan Syalimah.

Subuh esoknya, Syalimah lekas-lekas bangun mendengar panggilan azan. Ia ke dapur dan menanggar air. Ketika meniup siong untuk menghidupkan kayu bakar, ia tersentak karena sebuah kesenyapan. Ia baru sadar, untuk siapa ia menyeduh kopi? Ia bangkit da beranjak menjauhi tungku tanpa merasakan kakinya menginjak lantai. Suara suami-nya mengaji Alquran saban subuh telah menemaninya menghidupkan api dapur selama berbelas tahun. Syalimah duduk termangu, berkali-kali ia mengusap air matanya.  

Dan kemudian dilembar-lembar berikutnya banyak cerita-cerita lucu yang membuatku tersenyum bahkan tertawa sendiri, bagaimana Ikal disindir pamannya karena bekerja sebagai pelayan warung kopi milik pamannya, dan bagaimana Ikal berusaha membesarkan hatinya:

Jika warung kopi sedang sepi, sering aku melamun. Kunilai-nilai, sesungguhnya, serendah apa pun sebuah profesi, selalu bisa dilihat satu segi megah dari profesi itu. 

Dan ketika ia tidak menemukan letak megahnya profesinya, Ikal pun mengumpat:

Namun, dilihat dari segi mana pun, tak ada keagungan apa pun bagi seorang pelayan warung kopi. Pelayan warung kopi adalah jongos, kacung! 

Lalu kembali Ikal membesarkan hatinya :

Aku, hanya perlu menjadi seorang pelayan warung kopi, demi seseorang yang paling kuinginkan di muka bumi ini melebihi apa pun. Maka, pengorbananku belumlah seberapa dan aku tetap menjadi pahlawan bagi cinta pertamaku. Semua itu membuatku tidur dengan nyenyak, lalu bangun dalam keadaan tersenyum. Jika aku tidur dalam keadaaan tersenyum, aku bangun dalam keadaan tertawa.

. . . bacaanpun aku lanjutkan, ditemani wangi kopi yang telah kuseduh sendiri karena aku adalah pelayan dan pelanggan warung kopiku sendiri. Secangkir kecil kopi tumbruk dan sepotong baruassa kenari  (kue khas Makassar) menemani bacaan "Padang Bulan"-ku. Dan sebaris kalimat yg ada di hal.27 menggambarkan nikmatnya hirupan kopiku... 

"Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami"

Tidak ada komentar: